SIGMA TV UNJ — Beberapa bulan ini Dewan Perwakilan Rakyat menggemparkan dunia jurnalistik dan pers di Indonesia dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang dinilai membatasi ruang gerak pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Kontroversi tersebut bermula saat ditemukan beberapa pasal karet dalam RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan peraturan Dewan Pers.
Hal kontroversial dalam RUU Penyiaran
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, RUU Penyiaran memuat sejumlah pasal yang dinilai membatasi ruang gerak pers, terutama perannya sebagai Watchdog.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah Pasal 50B ayat 2 huruf c dalam RUU Penyiaran yang melarang penayangan eksklusif konten jurnalistik investigasi. Hal tersebut jelas kontras dengan realita. Karena, selama ini konten jurnalistik investigasi banyak membantu pengungkapan kasus-kasus kompleks di Indonesia.
Dilansir dari laman website Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu hal yang menjadi catatan koalisi masyarakat sipil terkait draft yang dinilai kontroversial dan harus ditolak ini adalah karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik. Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.
Selain itu, ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers. Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal Ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi– untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis.
Tanggapan LPM dan organisasi pergerakan di UNJ terhadap RUU Penyiaran
Kekhawatiran akan pembatasan ruang gerak pers nyatanya menjalar sampai lingkup pendidikan tinggi. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan sejumlah organisasi pergerakan di Universitas Negeri Jakarta turut angkat bicara dalam menyuarakan draft yang dianggap tidak ramah demokrasi ini.
Salah satunya adalah LPM Didaktika. Saat diwawancarai oleh SIGMA TV UNJ beberapa waktu lalu, Andreas Handy, kepala divisi Jaringan dan Komunikasi Didaktika UNJ, memberikan tanggapan terhadap RUU Penyiaran, “Terkait pasal itu ya tentu memberatkan bagi insan pers. Termasuk insan pers yang berada di media-media besar maupun dalam lingkup mahasiswa sendiri yaitu pers mahasiswa.”
Sependapat dengan Andreas, Andini Haniyatur yang tergabung dalam divisi News Era FM UNJ juga memiliki kekhawatiran yang sama mengenai RUU Penyiaran yang berpotensi menimbulkan sengketa jurnalistik.
“Kalau misalnya nanti disahkan (RUU Penyiaran) dapat berdampak pada konten-konten yang kami siarkan nantinya. Karena jika nanti konten yang kami siarkan tidak sesuai dengan ketentuan kategori yang ditetapkan pemerintah dalam RUU ini mungkin akan menimbulkan sengketa jurnalistik nantinya kepada kami yang menyiarkan informasi tersebut,” pungkasnya.
Menanggapi rencana pelarangan penayangan investigasi jurnalistik dalam Pasal 50 B ayat (2) huruf C, M. Sutansyah, komandan Tim Aksi Pandawa FE UNJ berpendapat bahwa, “Larangan ini berdampak negatif pada kualitas demokrasi karena kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi. Jika kebebasan pers dibatasi, maka tidak akan mendapatkan informasi yang objektif dan akurat. Yang pada gilirannya dapat mengurangi partisipasi publik dalam proses demokrasi.”
Seakan tak ingin pasrah, LPM dan organisasi pergerakan UNJ lainnya masih memiliki sejumlah langkah untuk mempertahankan kebebasan pers di Indonesia. Seperti halnya yang disampaikan oleh Gina Aulia Qotrunnada, kepala divisi News SIGMA TV UNJ. “Yang pertama itu adalah membuat konten jurnalistik tentang pentingnya investigasi dalam jurnalisme. Kenapa? Karena ketika investigasi, semua data itu bisa divalidasi. Lalu yang kedua itu, bekerja sama dengan akademisi dan praktisi hukum yang kita dapat memaparkan dan menjelaskan apa yang akan terjadi ketika RUU Penyiaran disahkan di kemudian hari,” jelas Gina.
Menanggapi rancangan perundangan yang rentan terpolitisasi ini, Mifathul Alif, selaku komandan Pasukan Biru FT UNJ, menyatakan bahwa akan terus menyuarakan dan melawan sampai RUU Penyiaran dibatalkan.
Pers mahasiswa dan organisasi pergerakan di UNJ lainnya tak bosan mengingatkan pemerintah untuk menjaga pers sebagai pondasi demokrasi dan transparansi. Seperti halnya yang diungkapkan Dika Putra Madya, komandan Red’ Soldier FIS UNJ. “Pemerintah agar lebih memikirkan lagi gitu tentang RUU (Penyiaran) ini. Dan kemudian pemerintah juga harus merumuskan kembali dan mengajak para pemangku kepentingan untuk kembali berdiskusi tentang RUU (Penyiaran) ini dan meninjau dampak dari RUU ini yang menyebabkan demokrasi kita terancam.” SIGMA TV UNJ/Sasha Andini
Comments