Memutuskan pendidikan di tengah jalan merupakan keputusan berat yang mau tak mau diambil oleh banyak mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan. Tak jarang perbedaan persoalan dan kondisi yang dialami oleh tiap mahasiswa menyebabkan mereka mau tak mau memutuskan pendidikan sebelum waktunya, seperti yang dialami Pandu dan Aldi.
Menempuh pendidikan setinggi-tingginya merupakan hal yang diharapkan oleh semua orang agar bisa mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu. Perspektif masyarakat jika seseorang berhasil menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi merupakan privilege, entah karena keadaan ekonomi maupun alasan lainnya. Pandu dan Aldi termasuk kedalam orang yang beruntung dan mungkin dipandang lebih di lingkungan masyarakatnya. Namun, mengapa mereka memutuskan pendidikan di Universitas Negeri Jakarta? Apakah ada sebab lain yang membuat pendidikan mereka terjeda?
Pertemuan pertama dengan Pandu menciptakan sebuah sudut pandang berbeda bagi saya. Sabtu sore itu sangat berkesan bagi saya. “Periang” kata yang bisa menggambarkan seorang Pandu Wijaya. Ia terlihat sangat antusias ketika menceritakan kisah hidupnya selama berkuliah di Universitas Negeri Jakarta. Berdasarkan kisah hidupnya yang saya dengar, ternyata sifatnya yang selama ini ditunjukkan di depan semua orang sangat berbanding terbalik dengan masalah yang sedang dialaminya. Keceriaan yang ia tunjukkan ternyata menyembunyikan masalah yang pelik.
Beda halnya dengan pertemuan bersama Aldi pada Rabu malam di Atelir Ceremai, seorang penggiat seni yang memiliki nama lengkap Muhammad Aldiansyah Febrian Azzhura ini merangkul sekali hal-hal yang berbau seni, teater, dan semacamnya bahkan ketika ia menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Ia menggambarkan kisah hidupnya sebagai hal yang harus dinikmati dan dijalani dengan mengeksplor banyak hal di dunia seni.
Pertemuan hangat bersama mereka menimbulkan sudut pandang yang berbeda bagi saya, Sudut pandang tersebut muncul karena mereka memilih mengorbankan perkuliahannya. Tetapi, bukan berarti mereka mengorbankan mimpinya.
Pengalaman selama menempuh pendidikan di UNJ
Dalam hidup, ada beberapa hal yang harus dinikmati, salah satunya, masa muda. Bagi kebanyakan orang, masa muda adalah "masa emas" untuk mengeksplor segala hal, mengenal potensi diri sendiri, bahkan memperluas relasi untuk berkolaborasi.
Namun, apakah "masa emas" tersebut dapat dirasakan oleh semua orang?
Sayangnya, tidak semua orang mendapat kesempatan itu dalam hidupnya. Pandu dan Aldi, menjadi dua dari sekian banyak pemuda yang terpaksa merelakan "masa emas" tersebut karena terjebak dalam kondisi sulit yang dipenuhi berbagai masalah. Seperti terjebak dalam labirin, mereka harus menemukan bagaimana cara keluar dari masalah tersebut dengan lika-liku perjalanan yang tentunya tidak mudah.
“Alasan gue untuk keluar dari kuliah itu bukan gue tidak bisa membayar kuliah tapi at least gue bisa bekerja untuk bisa membayar kuliah. Tapi, prioritas yang utama adalah keluarga pastinya,” tutur Pandu.
Pandu, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan kepribadian yang menyenangkan bagi orang lain, siapa sangka jalan hidupnya ternyata tidak se-menyenangkan itu. Jika mahasiswa lain bisa merasakan kuliah dengan tenang, lain halnya dengan Pandu yang harus menanggung beban cukup besar dalam hidupnya. Berbagai pertimbangan telah dipikirkannya dengan matang untuk mengundurkan diri dari dunia perkuliahan.
“Akhirnya gue memutuskan untuk keluar dulu dari kuliah, gue bekerja mencari uang banyak untuk bisa membayar utang orang tua,” sambungnya.
Mencoba bergeser ke latar belakang yang berbeda, Aldi memiliki karakter yang berjiwa seni, dapat diketahui bahwa ia memang senang sekali mengeksplor hal-hal baru. Ia senang dikelilingi banyak teman dan melakukan apapun yang ia senangi. Aldi, dapat dicirikan sebagai pribadi yang asyik, kritis, dan terbuka dengan semua orang. Rasa cinta terhadap dunia seni, membuat Aldi berpikir bahwa disana ia dapat menemukan apa yang ia suka dan mendalami bidang tersebut. Sayangnya hal itu tidak ia rasakan di kampus karena terbatasnya ruang terbuka dan diskusi untuk para mahasiswa terutama dalam mengeksplor hal-hal yang berkaitan dengan jurusannya.
“… ketika masuk kuliah di Sastra Indonesia tuh, UNJ terutama maksudnya, nggak sesuai yang aku bayangkan, justru aku ngerasa aku lebih bisa mengeksplor hal-hal tentang Sastra itu diluar, diluar kampus,” jelas Aldi.
Keputusan berat yang diambil Aldi dan Pandu untuk kehidupan selanjutnya
Bagi sebagian orang, berdiam diri di zona nyaman merupakan pilihan yang tepat. Namun, ada kalanya kita harus keluar dari zona nyaman, menerobos derasnya arus kehidupan, seperti yang dilakukan oleh Aldi dan Pandu.
Seperti halnya yang dirasakan Pandu, pikiran untuk berhenti kuliah sebenarnya sudah terlintas sejak semester 2. Namun, ia memilih untuk tetap berada di zona nyaman. Apakah zona nyaman merupakan pilihan yang terbaik? Nyatanya tidak. Hal ini karena semasa kuliah, Aldi kehilangan arah dan tujuan hidup yang berdampak pada ketidakseriusan menjalankan perkuliahan. Aldi merasa dunia kampus membatasinya untuk mengeksplor hal baru, ia pun tidak tahu tujuan dirinya berkuliah untuk apa.
“Apa ya… Mungkin ada rasa gak nyaman, ekspektasi atau apapun lah itu, aku juga gak suka sama kurikulumnya, gak sesuai dengan ekspektasiku di awal,” jelas Aldi.
Hanya dengan berbekal minat yang disenangi, Aldi berhasil mengeksplor banyak hal baru dan menemukan zona baru dalam hidupnya, yaitu Teater Zat dan Rawamangun Concept. Zona baru ini kembali menyalakan semangat yang sempat padam. Membangun relasi dengan orang-orang hebat yang ditemuinya memberikan warna baru dalam hidupnya.
Kesibukan yang sedang dijalani
Keputusan yang mereka ambil sangatlah berat. Namun, hal tersebut sudah lama mereka pertimbangkan sebelum benar-benar membulatkan keputusan. Perasaan minder, malu, dan beban pikiran lainnya sempat menghantui mereka ketika menjalani kehidupan barunya tersebut. Namun, berbekal pemikiran positif dan menerima seluruh takdir hidup membuat mereka berhasil damai dengan keadaan sekaligus takdir kehidupan yang telah dirancang oleh Sang Pencipta. Pandu hanya berharap semua goals dan tujuannya yang telah direncanakan tercapai. Ia berharap agar tanggungan yang menumpuk selama ini kian berkurang dan dapat melanjutkan studinya.
“Rencana tahun ini ingin semua beban masalah terselesaikan dan untuk kedepannya ingin melanjutkan kuliah lagi dengan lebih mengasah kemampuan yang dimiliki,” ujar Pandu.
Berbeda dengan seorang Aldi yang dapat menemukan passion-nya selama ini, ia malah merasa dapat menemukan jati dirinya setelah bereksplorasi lebih jauh terkait seni dan dunia film. Sekarang ia fokus berkontribusi dan melakoni beberapa peran di dalam film yang digarap oleh Azzam Fi Rullah. Aldi masih turut aktif dalam dua komunitas teater, Rawamangun Concept dan Sun Community. Aldi jelas sangat menikmati kehidupannya yang sekarang, ia membiarkan semuanya mengalir seadanya.
Pengalaman mereka selama bertahan di dunia perkuliahan, membuat saya merasa bahwa memutuskan pendidikan bukan berarti impian dan goalsmu di masa depan akan terkubur sia-sia. Akan tetapi, masih banyak jalan keluar yang dapat dicari untuk sampai kesana.
“Kalian gak kuliah bukan berarti kalian gak berpendidikan atau gak punya kecerdasan. Jadi, gapapa jalanin aja apa yang terjadi. Intinya, yang terpenting adalah selalu berproses dan cintai diri sendiri,” pesan Pandu.
Sosok Aldi dan Pandu merupakan dua dari banyaknya contoh mahasiswa dengan perbedaan karakter dan latar belakang yang ada di Indonesia ketika sedang dihadapi oleh keputusan berat tersebut. Kini mereka dapat menjalani kehidupannya layak manusia pada umumnya dan itulah jalan yang mereka pilih. Drop Out bukan berarti gagal. Namun, drop out bisa jadi jalan lain untuk memulai hidup baru dengan menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai di masa yang akan datang./Amara Juliana
Comments