SIGMA TV UNJ – (20/03/21) Bila harta bukan segalanya, mengapa melanjutkan pendidikan rasanya butuh sepenggal bagian dari itu? Ralat. Bukan sepenggal, melainkan seantero bagian dari itu. Uang agaknya dalih yang cukup masuk akal untuk mengubur khayalan bergelar sarjana. Benar memang, tidak sedikit insan dengan ganjalan ekonomi besar berhasil disokong oleh penguasa negara untuk meraih cita di Perguruan Tinggi. Namun, coba menyelam lebih dalam lagi. Nyatanya masih ditemukan sejumlah kisah yang berkabut mengenai carut marut mahasiswa setiap berjumpa dengan awal semester di ladang ilmu yang terpatri di kawasan Jakarta Timur ini. Terlebih, berkembang biaknya Corona Virus di negeri ini menambah rentetan alasan mengapa sebagian dari kami butuh uluran tangan lebih.
Nasi sudah menjadi bubur, sudah kadung pula tukai memijak gedung dengan dekorasi hijau merah. Bukannya tidak mengucap syukur, namun saat di perdua laluan banyak dari ribuan yang tidak sengaja bersua dengan batu ganjalan. Ada yang memilih tempur di jalan, namun ada pula yang berserah pada haribaan Tuhan.
Angella Lira Nova, seorang mahasiswi Pendidikan Teknik Elektronika angkatan 2018, salah satunya. Lahir di antara keluarga yang belum pernah mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi, membuat Angel merasa cukup bangga. Lamun, adakalanya rahmat ini juga melukiskan beban di bahunya. Di bawah rintikkan hujan kala itu, ia membuka suara perihal sejarahnya hingga berhasil meraih kata yang diidamkan mahasiswa, yakni “beasiswa”. Di semester 6 ini, Angel akhirnya bergandengan dengan beasiswa advokasi yang buat pikulannya terasa kian mengempis. Dari bibirnya yang mungil, ia menuturkan bahwa pertempurannya cukup sengit. Acap kali menerima kegagalan dan penolakkan dari berbagai beasiswa yang ia perjuangkan adalah konsekuesi yang ia harus terima.
“Karena apa yang kita jalani ini sebenernya apa yang orang lain inginkan” adalah kalimat yang Angel percaya saat ini agar ia tetap antusias menjelajah kuliah hingga S.Pd. tersemat di akhir namanya. Di balik pembawaannya yang ceria, Angel juga menyandang pekerjaan sampingan sebagai pengajar siswa SD dan SMP. “Motivasi yang paling berpengaruh, paling utama itu adalah pasti ingin membantu orang tua” tutur Angel saat ditanya apa sebab memilih bekerja.
Senada dengan Angel, Meista Putri Rahalia, mahasiswi Pendidikan Teknik Informatika angkatan 2019, jua tersandung di separuh jalan. Ia memutuskan untuk merenggangkan tali yang membelit nasib dengan menggadaikan tenaga miliknya. Bekerja sembari kuliah sungguh bukan perkara yang larat dipandang sebelah. Tak jarang mereka merasa dikekang saat hendak berkegiatan di luar ihwal akademik. Sekalipun begitu, para pejuang ini teguh mengimani bahwa apa yang ditanam hari ini adalah apa yang akan dituai kemudian.
Kendati demikian, memang di hidup ini kita seyogyanya berperan sebagai nakhoda, saat ini Angel dan Meista memilih mengarahkan kapalnya untuk mengarungi lautan luas yang di tengahnya terdapat ombak besar. Memutuskan lebarkan layar kapal, berjuang menerjang dengan harapan suatu saat kapalnya menepi di pulau yang biasa kita sebut kelulusan.
Berbicara perihal biaya menjadi sarjana tampaknya tidak ada habisnya. Biarpun bukan segelintir saja yang terbentur. Kita jua patut memberi pujian terhadap kebijakan Universitas Negeri Jakarta mengenai Uang Kuliah Tunggal saat pandemi sebagai respon keluhan dari para mahasiswa. Tercatat dalam Surat Keputusan Rektor Nomor 977/UNJ39/KU.00.01/2020, 2.657 mahasiswa dari 8 fakultas pada semester 114 menerima keringanan dalam pembayaran uang kuliah. “Pertama kita perlu mengapresiasi apa yang dilakukan oleh UNJ, telah memberikan keringanan kepada 2.657 mahasiswa, itu suatu langkah positif. Tetapi menurut saya ini belum efektif, karena jumlah mahasiswa kita hampir 30.000. Itu artinya gak nyampe 10% dari jumlah seluruh mahasiswa” imbuh Ubedilah Badrun, salah seorang dosen Sosiologi UNJ.
Di pelataran kampus, kami duduk satu meja mendengar opini dari sudut pandang beliau yang kerap disapa Pak Ubed ini. Menurutnya, bila saat pandemi seperti ini pendapatan orang tua rata-rata turun. Maka Uang Kuliah Tunggal juga sepatutnya diberikan potongan kepada seluruh mahasiswa. “Kalau dalam Sosiologi Politik ada namanya upper class, middle class, lower class. Maka, kalau secara makro itu mengalami penurunan kelas, mestinya uang UKT itu penggolongannya juga bisa diturunkan” tegasnya. Pak Ubed rupanya berada satu kapal dengan kepentingan mahasiswa, beliau yakin bila kampus mendengarkan keluh kesah mahasiswa artinya kampus memihak pula pada kepentingan bangsa.
Argumen Pak Ubed memang benar. Kuliah 3-4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Separuh merampungkannya tanpa tersandung, separuh yang lain tertatih untuk sampai di ujung. Keterlibatan penguasa kampus merupakan salah satu kunci. Di masa yang akan datang semoga ada lebih banyak cabang yang dapat menjadi tumpuan mahasiswa dalam menamatkan pendidikan. Ini adalah setitik dari sekian banyak kisah yang berkabut, Angel dan Meista merupakan secercah teladan dari barisan mahasiswa yang tidak menyerah dengan keadaan. Masih ada beribu bilik dongeng lain dari perjuangan putra putri bangsa dalam menggapai gelar diploma dan sarjana. (Sigma TV/HL)
Comments