Estetika atau seni, salah satu dari tiga wilayah pembangun peradaban manusia yang kerap dilupakan.
SIGMA TV UNJ – Kamis (24/06/21) Perkataan seperti “Memangnya itu berpenghasilan?” atau “Udahlah yang pasti-pasti aja” kerap kali diterima oleh penggiat seni, khususnya mereka yang baru saja terjun di dunia seni. Stigma negatif sering kali disandarkan kepada mereka, hal inilah yang membuat tidak sedikit generasi muda harus menghadapi sikap anti-seniman yang tak jarang didoktrinisasi oleh pandangan masyarakat. Citra negatif yang tumbuh sejak dulu akhirnya mengakar dan berdampak luas. Tidak hanya berdampak pada penggiat seni, tetapi juga berdampak pada citra seni secara keseluruhan. Pun akhirnya persoalan apresiasi peran seni menjadi jarang, tak heran karena memandang sesuatu sepatutnya membutuhkan dua mata, bukan sebelah mata.
Tidak terkecuali, hal ini juga dialami oleh seorang mahasiswi dari Program Studi Pendidikan Seni Rupa UNJ Angkatan 2019 bernama Wardah. Meski kedua orang tuanya mendukung pilihannya, namun lontaran komentar serta pertanyaan mengenai mengapa dirinya memilih seni, apa prospek kerja dari jurusan seni, sampai mengapa tidak memilih jurusan atau pekerjaan lain yang di mata mereka tentu lebih “jelas” atau menjanjikan.
Bahkan, stigma ini sudah ada jauh sebelum Wardah memutuskan untuk masuk ke Program Studi Pendidikan Seni Rupa. Ridwan Rau Rau, seorang penggiat seni dan alumni Pendidikan Seni Rupa UNJ angkatan tahun 2003 ini pun mengalami hal yang sama. Perkataan seperti tidak adanya harapan baginya ketika memasuki dunia seni mau tidak mau harus ia telan. Nyatanya, ketangguhan juga menjadi faktor penting dalam berlayar di samudera seni. Seperti pepatah Minang, “sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang” artinya ketika suatu keputusan telah diambil, maka usahakan tidak ada lagi keraguan.
Menanggapi polemik tersebut Dr. Indro Moerdisuroso, M.Sn. selaku dosen di Program Studi Pendidikan Seni Rupa UNJ berpendapat bahwasanya hal tersebut merupakan proses dialektik antara perkembangan teknologi, perkembangan profesi, dengan cara berpikir orang “zaman dulu”. Selain itu ia mengatakan pada intinya profesi seni itu dibutuhkan oleh alam semesta karena selama ia ditekuni dan digeluti pasti memiliki konstribusi untuk kehidupan.
Seni itu sendiri sangat beraneka ragam, memiliki banyak mahzab dan salah satunya berkaitan langsung dengan permasalahan sosial. Bahkan dalam mahzab ini ada satu pernyataan, “Seni itu memang harus terkait dengan permasalahan lingkungan alam dan sosial. Jika tidak seperti itu tidak bisa disebut seni.” seni pada mahzab tersebut selalu memotret, menyuarakan, memunculkan berbagai gejala sosial pada zamannya, bahkan selain jadi saksi sejarah seni juga menjadi pelaku sejarah Karya seni rupa tidak semata menawarkan kejutan visual, tetapi juga membicarakan kondisi sosial juga mentalitas masyarakat di masa itu. Artinya ada narasi besar tentang sejarah, sosial, kultural dan politik di balik pembuatan karya seni rupa tersebut. Negara yang punya apresiasi seni yang baik untuk menghargai senimannya, maka akan mampu meninggalkan jejak peradaban yang baik bagi rakyatnya.
Memiliki peran besar dalam menjaga ekosistem dunia seni, pemerintah sudah berusaha menjalakan perannya itu. Di masa Pandemi COVID-19 ini, pada tahun 2020 Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan melaksanakan program bantuan dana sebesar 1 juta rupiah oleh pemerintah untuk Apresiasi Pelaku Budaya yang terdampak COVID-19 dan mendorong untuk menghasilkan karyanya dan diapresiasi secara virtual. Program ini telah berjalan pada 3 tahap dan telah diapresiasi sebayak 78.432 pelaku budaya, yang menghasilkan 205.485 karya pada 11 tema telah terverifikasi ikut serta dalam program ini, namun di tahun 2021 dengan digaungkannya new normal program ini sudah ditutup.
“Jika ditanya cukup atau tidak, tidak. Jadi, itu bisa memberi napas kepada sejumlah pelaku budaya atau seniman untuk bisa tetap menjalankan roda produksi di masa pandemi ini,” ujar Indro ketika ditanya pendapatnya mengenai program tersebut.
Perkembangan seni rupa tidak terlepas dari peran besar institusi ataupun perguruan tinggi. Sebagai perguruan tinggi, di UNJ sendiri cukup banyak wadah-wadah untuk mengapresiasi seni, seperti adanya kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler, pelaksanaan pameran sebagai hasil tugas akhir oleh Program Studi Pendidikan Seni Rupa, sampai penampilan dari Program Studi Seni Tari yang dilakukan di muka publik. Bahkan, muncul komunitas bernama Rewind Art, yakni komunitas yang berbasis performance art dan aksi langsung. Kegiatan tahunan ini pun sudah dilakukan sejak sekitar tahun 2001 sampai sekarang, tak hanya melibatkan mahasiswa UNJ kegiatan ini juga dihadiri oleh pematri dari mancanegara, seperti Jerman, Italia, dan Spanyol.
“Dan gua harap sih, bukan cuma temen-temen sekitar kampus doang yang mengelola atau mengorganisirkan, tapi emang temen-temen dari luar juga bisa ikutan bergabung dan kita buat sesuatu yang baru gitu,” ujar Bang Ridwan Rau Rau.
Logika, etika, estetika merupakan tiga wilayah yang membuat manusia dapat membentuk peradaban. Alih-alih menjadi tiga penampang yang beririsan secara imbang, estetika kerap dianggapp tidak ada. Merapihkan rambut sampai memadupadankan pakaian— dalam skala yang terkecil apapun setiap manusia pasti memiliki dan membutuhkan estetika. Nyatanya, tidak hanya untuk hari ini, kehadiran seni rupa membawa peran penting jauh sejak dulu. Membantu membangun Indonesia, menjadi media bersuara terkait kondisi sosial—menjadi kertas dituliskannya narasi besar mengenai sejarah, sosial, kultural dan politik. Mengapresiasi seni berarti mengikuti kembali jejak peradaban manusia, mengingatkan semangat dan arah suatu bangsa. (SIGMA TV/RS)
Comments