SIGMA TV – Minggu, 10 Oktober 2021, Tingkat stress tinggi sampai depresi menjadi dampak yang tak bisa dihindari. Civitas akademika kian menjadi korban dari sistem Pendidikanyang disebut "solusi di kala pandemi". Lingkungan rumah dan tugas tugas yang tak kunjung usai kian mengikis psikis para akademisi. Hal Ini dibuktikan berdasarkan hasil survei online telah menyebutkan sebanyak 69% responden mengalami masalah psikologis. Persentase sebesar 68% mengalami cemas (anxiety), 67% mengalami depresi, dan 77% mengalami trauma psikologis. Sedangkan 49% responden merasakan depresi hingga berpikir mengenai kematian dari berjumlah 2.364 orang yang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia. Artinya, masalah kesehatan mental semakin nyata dirasakan oleh masyarakat selama terjadinya Covid-19.
Lantas, bagaimana kualitas kesehatan mental, khususnya mahasiswa UNJ? Dan bagaimana kampus menangani hal tersebut?
Farah Shiba Fadhilah selaku Ketua Umum Komunitas Ruang Nyaman UNJ Periode 2021/2022 mengakui bahwa pada awalnya, isu kesehatan mental di Indonesia sendiri, secara umum masih dianggap tabu oleh masyarakat awam. Tetapi, semenjak komunitas ini berdiri, khususnya tahun 2019, sudah mulai adanya kesadaran isu kesehatan mental.
Ruang Nyaman merupakan komunitas yang dibentuk untuk mengedukasi terkait pentingnya menjaga kesehatan mental, self-development dan gaya hidup yang sehat, khususnya kepada masyarakat sekitar UNJ. Melalui kisah yang diceritakan oleh Support Group Ruang Nyaman, beberapa kali ditemukan mahasiswa yang hendak melakukan self-harm.
Hal ini pula dialami oleh salah satu Mahasiswa Program Studi Psikologi UNJ, Mengatakan “Tahun lalu aku pun sempat self-harm karena satu dan lain hal. Alhamdulillah nya kami setiap bulan ada brainstorming, yang juga curhat satu sama lain, aku ngerasa ohh aku ada temen, jadi aku bisa cerita dan ada orang yang mau membantu aku dan support aku,” Ucap Luhtfiyyah Zahra.
Meskipun begitu, kesadaran isu Kesehatan mental sudah mulai meningkat. Hal ini diperjelas oleh Farah, bahwa pada awalnya, mereka yang masih melakukan hal-hal negatif (self-harm), masih belum begitu aware dengan kesadaran kesehatan mentalnya sendiri.
Namun, setelah mendapatkan edukasi intensif melalui konten-konten Instagram, webinar, Poscast yang dipublikasikan, perlahan-lahan mereka sudah mulai sadar akan kesadaran kesehatan mental. Bahkan beberapa dari mereka memutuskan untuk berani mengunjungi psikolog atau psikiater.
Hal ini dialami serupa dengan Rachel Emmanuella, seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang angkatan 2017 adalah salah satu penyintas major depressive disorder. Menurutnya perkuliahan secara daring tidak melulu membuatnya merasa perkuliahan jarak jauh adalah hal yang buruk, tetapi membuat kehidupan sosialnya sangat berubah dibandingkan sebelum terjadinya pandemi.
Menurutnya menjaga komunikasi dengan lingkungan pertemanan adalah dengan cara berdamai dengan pandemi itu sendiri, mendewasakan diri agar tidak terjebak pada ego pribadi adalah kuncinya. Ia juga mengatakan di masa masa sulit seperti ini jadilah seorang pendengar yang baik bagi teman, “yang penting saat pandemi ini adalah saling mendengarkan, kalau kita merasa kita butuh untuk didengarkan maka kita juga harus siap menjadi pendengar yang baik juga,” pungkasnya.
Menanamkan mindset saling membantu atau simbiosis mutualisme dalam pertemanan juga perlu diterapkan, karena jika seseorang ingin didengarkan maka dia juga harus menjadi pendengar yang baik. Ia juga memberikan sebuah pesan yaitu, jangan pernah berasumsi atau menghakimi seseorang tanpa bertanya terlebih dahulu. Menggeneralisasi setiap masalah adalah hal yang salah yang pada akhirnya akan memunculkan pikiran negatif lalu berdampak bagi kesehatan mental, ia pun mengatakan “Sedang lemah bukan berarti tidak dewasa” dan ia pun mengatakan jangan sungkan untuk datang ke psikolog ataupun psikiater karena itu adalah salah satu jalan seseorang bisa ditolong dalam segi kesehatan mental.
Berdasarkan hasil survei tim SIGMA TV lakukan, terdapat 97,9% dari jumlah total responden 14 partisipan yang tersebar di Universitas Negeri Jakarta mengalami jenuh, bosan, kehilangan semangat selama pembelajaran daring. Dan salah satu penyebab yang paling terbebani oleh mahasiswa adalah tugas kuliah sebesar 35,7%, dibandingkan dengan penyebabnya lingkungan rumah sebesar 28,6%.
Nyatanya, tidak hanya mahasiswa yang mengalami kesulitan. Kegiatan pengajaran secara daring pun tak luput membuat para dosen acap kali dibuat kebingungan. Menurut Ibu Riana Bagaskoro selaku dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Khusus berpendapat bahwa beliau menggunakan berbagai pendekatan dan metode pembelajaran sesuai dengan tingkatan setiap mahasiswanya, dengan cara pengasahan critical thinking kepada mahasiswanya. Beliau juga mengatakan jika mahasiswa mengalami kendala terkait dengan perkuliahan, maupun feedback terkait pelajaran hal utama yang harus dibangun antara dosen dengan mahasiswa adalah komunikasi yang baik.
Mahasiswa juga diminta untuk memahami kendala yang terjadi terhadap dosen, karena dosen juga semaksimal mungkin memberikan yang terbaik pada saat pembelajaran dimulai. Pesan yang disampaikan oleh Ibu Riana adalah mahasiswa bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru terhadap sistem perkuliahan daring, mahasiswa juga harus bisa bersikap fleksibel, bijak, lebih aktif saat kelas, dan dapat belajar secara mandiri, “Tolong anda lebih aktif memotivasi diri anda untuk tetap mendapatkan feel belajar, tidak mesti harus tatap muka di dalam satu ruangan,” ujarnya.
Disisi lain, belum adanya sosialisasi secara masif tentang kesehatan mental bagi mahasiswa dan tenaga pendidik acap kali membuat mereka mengalami kesulitan untuk memvalidasi apa yang mereka rasakan
Berdasarkan hasil survei didapatkan melalui Google Form yang disebar oleh Sigma TV kepada Civitas Akademika UNJ, sejumlah respon sebanyak (42,9%) sangat setuju, (28,6%) setuju, (21,4%) cukup setuju, dan (1%) menjawab tidak setuju bahwa pandemi ini berdampak pada kualitas kesehatan mental masyarakat, khususnya civitas akademika.
Eksistensi UPT – LBK yang berlabel sebagai media konseling bagi mahasiswa dan tenaga pendidik Universitas Negeri Jakarta masih menjadi pertanyaan hingga saat ini.
Sementara, Ibu Eka Wahyuni yang bertanggung jawab dalam Layanan Konseling UPT UNJ berpendapat bahwa pandemi ini memang memberikan banyak sekali dampak kesehatan mental pada mahasiswa, maupun civitas akademika. Beliau menjelaskan seperti banyak yang diketahui dari beberapa survei, menyatakan bahwa pandemi ini memberi dampak negatif pada kesehatan mental bahwa hal ini disebabkan salah satunya adalah meningkatnya stres, karena ketakutan risiko terinfeksi, baik diri sendiri maupun orang terdekat. Kemudian, isolasi mandiri yang dapat memberi pengaruh pada interaksi dengan orang lain, tidak ada alternatif lain untuk menghibur diri. Terlebih lagi, jika fasilitas rumah terbatas, misalnya saat belajar yang mengharuskan berbagi ruangan dengan orang lain. Selain itu, terutama pada keluarga yang memang memiliki hubungan kurang harmonis. Beliau menjelaskan, “Berada dalam satu ruang yang kurang nyaman bagi kita pun memberi dampak lebih pada kesehatan mental.”
Selain itu, dapat pula memberikan pengalaman traumatis, baik kehilangan orang terdekat maupun tidak. Banyak sekali mahasiswa yang kehilangan orang tua dan sumber pencaharian orang tua. Oleh karena itu, bagi mahasiswa sendiri, kehilangan kepastian akan masa depan seperti apakah akan lanjut kuliah atau tidak.
Selain itu, ibu Eka menuturkan bahwa banyak yang kehilangan mata pencaharian, baik yang dirumahkan maupun usaha yang ditutup, hal ini berpengaruh pada stabilitas ekonomi. Ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi ini pun memberi pengaruh besar terhadap kesehatan mental, hal ini juga telah didukung oleh WHO.
Ia pun menambahkan bahwa, bagi mahasiswa sendiri, khususnya dalam pembelajaran daring, banyak sekali tugas-tugas yang biasa dilaksanakan di kelas, namun semua dialihkan ke online. Sehingga, tugas itu terasa lebih banyak, terutama pada pelaksanaan praktikum.
Secara psikologis, pembelajaran virtual pun akan menimbulkan rasa kebosanan, attachment terhadap mata kuliah, dosen maupun teman menjadi terbatas.Oleh karena itu, tak peduli apa yang sedang dirasakan, tanpa disadari, kesehatan mental yang menjadi landasan manusia untuk tumbuh dan berkembang kini semakin diabaikan seolah manusia tak lagi punya perasaan.
Dengan menyadari isu kesehatan mental, para civitas akademika yang berada di lingkungan kampus dapat saling membangun mental yang sehat dan memberikan energi yang positif. SIGMA TV / Miranda
*Sumber data : PDSKJI, Mei 2020, dalam Universitas Negeri Yogyakarta, himapsikologi
Comments